KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu hari di tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Aku menyesal bukan main karena selama ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang kepergiannya, aku berdiri di samping tempat tidurnya di rumah sakit sambil menangis.
Melihatku seperti itu, Apih mengatakan, laki-laki tak boleh menangis. Laki-laki pantang keluar air mata.
Bayangkan, bahkan di saat-saat terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan sikapnya yang penuh kasih padaku yang durhaka ini.
Sore itu aku dimintanya pulang ke rumah dan beliau memberiku ongkos. Aku menurut. Begitu aku pulang, Allah mengambilnya.
Aku syok berat.
Saat Apih dimakamkan, aku turun ke liang lahat dan memeluk jasadnya. Aku tak mau beranjak meski makam akan ditutup. Aku tak mau melepas kepergiannya. Aku menyesali perbuatanku.
Selama Apih masih hidup, aku tak pernah mau mendengarkan ucapannya.
Sejak itu, Umi membesarkan kami berlima. Hidupku terus berjalan. Bukan ke arah yang baik, namun aku kembali ke masa seperti dulu.
Penyesalan yang sebelumnya begitu menghantuiku karena ditinggal Apih, seolah lenyap. Kebandelanku bahkan makin menjadi sepeninggal Apih. Kesombonganku juga lebih besar dari sebelumnya karena merasa berprestasi dan punya uang banyak. Tak seorang pun kudengarkan lagi nasihatnya.
Ketika temanku menasihati, aku mencibir. Siapa dia sampai aku harus mendengarkan ucapannya? Ucapan orang tua saja tak kugubris.
Aku tenggelam dalam duniaku sendiri dan jadi pecandu narkoba.
Waktu itu, aku beralasan karena ada masalah di rumah. Padahal, sebetulnya alasan apa pun, termasuk broken home atau teman, tidak bisa dijadikan alasan. Diri sendirilah alasannya, karena bagaimana pun, kita lah yang menentukan semua yang terjadi pada diri kita.
Jadi, tidak perlu membawa-bawa orang lain atau keadaan.
Namun, kesadaran seperti ini mana mungkin muncul pada diriku yang waktu itu sangat arogan? Aku makin jauh dari Tuhan. Padahal, sebelah rumahku ada masjid. Ketika orang berpuasa di bulan Ramadan pun, aku tetap melakukan kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan orang-orang sibuk bertakbir, aku malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di mana aku bisa berbuat maksiat.
Semua ilmu agama yang pernah kupelajari dan kemampuan membaca Quran seperti hilang. Akal sehatku seperti hilang. Kecanduanku pada narkoba juga makin parah, bahkan sampai mengalami over dosis dan aku hampir mati. Kejahatan demi kejahatan moral terus kulakukan.
HIDUP DI JALAN ALLAH
Pelan-pelan, aku kembali dekat pada agama. Perubahan besar terjadi dalam hidupku pada tahun 2000.
Kala itu, Fathul Hayat, kakak keduaku yang setengah tahun silam meninggal karena kanker otak, memintaku menggantikannya memberi khotbah Jumat di Mangga Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta menjadi imam di Singapura.
Fathul memang seorang pendakwah. Selama dia di Singapura, semua jadwal ceramahnya diberikan padaku. Pertama kali ceramah, aku mendapat honor Rp 35 ribu. Uang dalam amplop itu kuserahkan pada Pipik. Kukatakan padanya, ini uang halal pertama yang bisa kuberikan padanya. Kami berpelukan sambil bertangisan.
Selanjutnya, kakakku memintaku untuk mulai menjadi ustaz. Inilah jalan hidup yang kemudian kupilih. Betapa indah hidup di jalan Allah. Aku mulai berceramah dan diundang ke acara seminar narkoba di berbagai tempat.
Namun, perjuanganku tak semudah membalik telapak tangan. Tak semua orang mau mendengarkan ceramahku karena aku mantan pemakai narkoba. Tapi aku mencoba sabar.
Alhamdulillah, makin lama ceramahku makin bisa diterima banyak orang. Bahkan sekarang, aku banyak diundang untuk ceramah di mana-mana, termasuk di luar kota dan stasiun teve. Aku bersyukur bisa diterima semua kalangan. Aku pun ingin berdakwah untuk siapa saja. Aku ingin punya majelis taklim yang jemaahnya waria. Mereka, kan, juga punya hak untuk mendapatkan dakwah.
Kebahagiaan kami bertambah ketika tahun 2000 itu, lahir anak pertama kami, Adiba Kanza Az-Zahra. Dua tahun kemudian, anak kedua Mohammad Abidzan Algifari juga hadir di tengah kami.
Mereka, juga istriku, adalah inspirasi dan kekuatan dakwahku. Kehidupan kami makin lengkap rasanya.
Sampai sekarang, aku masih terus berproses berusaha menjadi orang yang lebih baik.
Semoga, kisahku ini bisa jadi bahan pertimbangan yang baik untuk menjalani hidup.
Pesanku, cintailah Tuhan dan orangtuamu, serta pilihlah teman yang baik.
Catatan dari saya (Yusuf Mansur), bi-idznillaah …
Tambahan ini, adalah terjemahan bebas dari Qs. Al Furqoon, ayat 21-29. Baiknya, liat lengkap langsung di al Qur’an +terjemahannya, +surah Qoof, al Qomar, dan juz 29-30, untuk menghidupkan hati. Jangan lupa, doa, mendoakan, & minta doa):
“Dan orang-orang yang tdk mengharapkan pertemuan dengan Kami (di akhirat) berkata: Mengapa bukan para malaikat yg diturunkan kepada kita (Jangan mengirimkan Rasul). Atau mengapa kita tidak melihat Tuhan kita? Sungguh, mereka telah menyombongkan diri mereka dan benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan kesalahan, maksiat, dosa, kezaliman, kesalahan).
(Ingatlah) pada hari (ketika) mereka (benar-benar) melihat para malaikat (di hari akhir), pada hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata: hijram mahjuuraa (ucapan yg diucapkan orang Arab ketika menemui musuh yang tidak dapat lg dielakkan, atau ketika akan ditimpa bencana yang tidak dapat dihindari. Ungkapan ini juga berarti:
Semoga Allah mnghindarkan bahaya ini dari saya (tapi sudah percuma, sebab diucapkannya di hari akhir).
Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yg beterbangan.
Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) langit pecah, mengeluarkan kabut putih, dan para malaikat diturunkan gelombang bergelombang (diturunkan besar-besaran).
Kerajaan yang mutlak pada hari itu adalah milik Allah Yang Maha Pengasih. Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir.
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit dua jarinya (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.
Wahai celaka aku! Coba (dulu) aku tdk menjadikan si Fulan itu teman akrabku (bisa juga diartikan: syaitan).
Sungguh, temenku (atau bisa dimaksudkan: syaitan) telah menyesatkan aku dari peringatan (al Qur’an) ketika (al Qur’an) itu telah datag kepadaku. Dan syaitan memang pengkhianat manusia. (Qs. Al Furqoon: 21-29).
Article post form http://yusufmansur.com/memoar-uje/